Saya tak pernah tahu apa artinya hidup di darul
Arqam selama enam tahun ini bagi dia. Dia adalah orang jawa asli tepatnya
Yogyakarta, pertama waktu kelas satu logat jawanya sangat kental sekali, ketika
dia di absen dan ditanyai, “kamu dari mana?” dia pasti jawab “djokja” dengan
sedikit penekanan pada huruf D dan J dan
terakhir A yang khas. Semua kelas pasti tertawa melihat dia memperkenalkan
diri, maklum orang dalam kelas saya semuanya hampir dari daerah sunda, dan
orang sunda sangat aneh melihat orang jawa dalam tanda kuttip cara berbicara
mereka, yaitu medok nya. Tapi setelah menjalani 6 tahun dia sekolah disini, dia
seolah-olah seperti ganti kulit, semuanya hampir seperti tak pernah kita temui,
hal-hal dulu yang melekat pada dia termasuk cara ngomong yang medoknya itu,
sekarang berganti menjadi sunda yang sangat kental, dia fasih sekali berbicara sunda, dari mulai sunda
kromo hingga sunda ngokonya. Kehidupan dia agak lumayan rumit menurut saya, tapi dia termasuk seorang yang
struggle, pasalnya pertama dia ada dalam wilayah perantauan yang jauh dari
sanak saudara dari umur 12 tahun, dan akhirnya dia mampu bertahan selama 6
tahun pada kultur yang berbeda dan hampir semua komunitas berbeda dengan dia,
dalam artian hanya sedikit sekali komunitas orang jawa di sekolah saya, tapi
dia bisa bertahan dan akhirnya dia mampu adaptasi tanpa kesalahan sedikitpun.
Saya tidak tahu sebenarnya dalam benak dia apakah dia cinta terhadap kota Garut
atau tidak, yang jelas setiap identitas yang dia isi selalu menyertakakan Garut
sebagai salah satu tempat dimana dia tumbuh menjadi Ana yang seperti sekarang. Pertama
saya kenal dengan dia, saya tidak ingat persis bagaimana kejadiannya, tapi yang
pasti kita kenal gara-gara satu asrama. Kebetulan waktu itu waktu kelas 2 kita
seasrama bareng di asrama 5, yang saya tahu dia hobi sekali menyanyi, apapun
lagunya. Yang paling saya ingat
adalah Ana orang yang paling rajin melihat, merawat dan mengoperasi mata ikan
yang saya idap selama 1 tahun kurang ketika saya kelas 2, tapi dengan tertawa
cekikikan dia memencet-mencet mata ikan saya dengan senang dan tidak dengan perasaan
jijik sama sekali, saya yang di operasi waktu itu hanya bisa berteriak,
mengejat-ngejatkan kaki dan nangis tak tertahankan, tapi Ana dengan tega terus
mengoperasi saya sampai habis semua mata ikan yang ada di kaki saya yang pada
waktu itu mencapai 5 buah, bayangkan 5 buah mata ikan dia babat!, ketika sedang
mengeksekusi mata ikan saya, saya pernah bertanya pada Ana, kenapa dia sangat
terobsessi untuk menghilangkan mata ikan saya, dia menjawab dengan penuh minat
“karena saya pengen jadi dokter kulit, dan sekarang saya latihan dengan kamu
sebagai objek penderita” serentak langsung terdengan suara
AAAAAAAAAAAAArrrrrrrrrrrrHHHHHHHHHh, dia menyeringai tawa licik sambil
memencet-mencet mata ikan di kaki yang senut-senut. Dan kalu tidak salah dia
dulu adalah orang yang tidak bosan membacakan dongeng sebelum kita tertidur,
papapun itu dongengannya dia pasti bertanya “ aya nu rek dibacakeun dongeng
moal ku abi saencan sare ?” dan barudak menjawab “ aya na, abi can bisa sare,
sok”.
Sekarang Ana kuliah di Jurusan Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
Komentar