Pada Suatu Hari
Pada suatu hari, hari yang terik,
kita berdua berjalan dari kampus menuju kosn tempatku tinggal lama selama masa
kuliah, kita tak pernah bermimpi untuk mendapatkan ini itu terlalu dini. Di
jaman kuliah dulu, di daerah Purwokerto jalan kaki adalah sebuah hal yang
dianggap malu, karena di sana angkot jarang sekali, ada namun keberadaannya
sangat jarang, mungkin bisa di hitung angkot lewat 20 menit sekali. Kenapa
memalukan karena menandakan kita tidak bisa mengendarai motor atau kita tidak
bisa membeli motor. Saya baik-baik saja
dengan keadaan tersebut karena perempuan, entah dengan seorang laki-laki di
pinggir saya. Tapi sejauh ini, dengan ketiadaan motor pada kehidupan kita tidak banyak mempengaruhi
rasa keinginan saya untuk tetap berjalan dengan dia. Meskipun saya pernah
berandai-andai, seandainya diantara kita ada yang punya motor kita akan mudah
dan murah untuk berjalan-jalan kesana-kemari, tetapi nyatanya pun ketiadaan
motor bagi kita tidak menyurutkan kita untuk jalan-jalan.
Meskipun kadang terkendala dengan
ongkos yang mahal, harus bergunta-ganti naik angkot jurusan lain, kadang harus
jalan kaki ketika tidak ada angkot yang lewat karena jam operasiny hanya sampai
sore hari dan kita jalan-jalan sampai malam, kadang kita harus kehujanan
menunggu angkot, kadang selama jalan kaki saya banyak marah-marah sepanjang
jalan gara-gara kecapean. Tapi, keterbatasan tersebut tak menjadi alasan bagi
kita untuk menyalahkan satu sama lain, dan saling belajar memahami inilah
keadaan kita berdua.
Memori di atas selalu terkenang
jelas dalam ingatan saya ketika saya flashback tentang masa-masa kuliah dulu.
Sekarang saya dan dia, pria yang selalu berjalan denganku di tengah kota,
mengajakku naik angkot, bis, dan angkutan umum lainnya, kita sudah beranjak
pada tahap menikah. Rasanya seperti mimpi yang setiap malam mampir dalam tidur
kita berdua.
Banyak kesangsian kita akan
sebuah kata menikah sebelumnya, karena banyak sekali hal-hal yang sepertinya
tidak gampang untuk dilalui. Mengingat saya dan dia mempunyai banyak perbedaan,
dari segi usia saya lebih tua dari dia 1,5 tahun, saya dituntut untuk cepat
menikah, tapi dia masih lebih muda. Ditengah banyaknya teman-teman saya yang
menikah, dia belum lulus kuliah. Betapa gregetnya saya pada saat it, karena dia lulus telat,
seharusnya 4 tahun menjadi 5 tahun. Hal tersebut banyak sekali menguras energi
karena kita berdua sudah mulai long distance. Saya di Garut dan dia di
Purwokerto. Setelah lulus saya mengambil S2 di UNPAD, dan dia masih kuliah S1
di Unsoed. Dia lulus September tahun 2014, pada saat itu dia ketar-ketir
mencari pekerjaan. Desember tahun 2014 akhirnya dia mendapatkan pekerjaan.
Februari 2015 saya lulus S2 dari UNPAD.
Setelah mendapatkan kerja, dia
tidak serta merta bisa bebas melenggang untuk bergegas melamar atau apapun itu,
karena kerjanya mengharuskan dia untuk ikatan dinas dengan kontrak 2,5 tahun
tidak boleh menikah. Saya dari sana ingin marah sekali karena begitu teganya
dia mengambil kontrak kerja yang tidak memperbolehkan menikah. Menurut dia
waktu 2,5 tahun tidak lah lama. Tapi bagi saya sungguh berasa lama sekali.
Dalam waktu 2,5 tahun kita menjalani long distance relationship Semarang-Garut.
Kita hanya bertemu 3 hingga 7 bulan sekali, yang paling sering dia datang ke
Garut untuk menemui saya. LDR bukanlah hal yang gampang, komunikasi,
kepercayaan, materi yang kadang menjadi alasan utama kita untuk saling
menyalahkan satu sama lain karena kurang mengetahui apa yang dilakukan dan
dirasakan satu sama lain, karena kita tidak bertatap muka.
Setelah itu, saya adalah orang
sunda, dan dia adalah orang jawa, banyak sekali rumor, mitos dan hal-hal negatif
mengenai orang sunda dimata orang jawa, begitupun sebaliknya. Begitu rumor itu
melekat sampai sekarang, memang saya akui banyak sekali keberatan dari keluarga
kedua belah pihak karena kita mendapatkan orang yang berbeda suku, mulai dari
jarak rumah saya dan dia yang terlalu jauh, watak antara kita yang jauh
berbeda, dan interfensi tetangga dia yang banyak mendorong pola pikir orang
sunda yang terlampau negatif, ataupun dari keluarga saya yang berkali-kali bertanya apakah tidak ada orang
lain selain dia, pertanyaan yang simple tapi menohok yang artinya sama saja
dengan pikiran-pikiran ketakutan akan mempunyai kerabat asal orang jawa.
Masalah perbedaan suku, dan berbagai mitos serta keraguan keluarga merupakan
hal yang terberat yang pernah kita alami. Betapa takutnya saya menemui kasus
putus cinta bukan karena saya dan dia ingin putus secara sengaja, tetapi
orang-orang sekeliling kita yang tidak ingin kita bersama. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, keluarga besar bisa saling menerima satu sama lain.
Setelah itu biaya nikah, dia
bekerja untuk menumpulkan uang ditengah berbagai macam kebutuhan hidup
keluarga, kebutuhan dia pribadi, kebutuhan gaya hidup dia bersama
teman-temnnya, kebutuhan dia dengan saya ketika harus bertemu, kebutuhan dia
untuk jalan-jalan dan lainnya. Betapa uang harus di gilir-gilir sesuai
prioritas pada saat itu, namun akhirnya bisa menabung juga, walaupun banyak
perdebatan dulu sebelumnya.
Di tengah semuanya itu kadang
emosi saya meluap tanpa alasan, karena jarak yang jauh dan waktu yang terlamapu
lama, lama-lama mungkin saya takut kalau dia bukan lah jodoh saya yang terus
saya paksakan, saya mencoba untuk ikhlas melespaskan. Namun hal itu tidak
pernah benar-benar saya lakukan. Diapun tak pernah bergeming, apapun masalahnya
dia tak pernah memutuskan apa yang telah kita jalani selama ini. Selama 6 tahun
lebih, kita tak pernah break ataupun
putus nyambung satu kalipun. Memang kita sering mengalami pertengkaran, tapi
tidak lebih dari 2 hari kita sudah seperti biasa kembali.
Dulu ketika pertama-tama kita
menjalani ini semua, dia menegaskan, ketika ada masalah selesaikan masalah itu
sekarang juga, jangan sampai masalahnya terjadi hari ini, diselesaikan minggu
depan. Ketika ada masalah sebelum curhat dengan orang ke tiga siapapun itu baik
teman atau yang lain, sebisa mungkin kita komunikasikan antara kita berdua,
seandainya masalah itu tidak selesai dengan komunikasi kita berdua, maka orang
lain boleh ikut campur/menengahi.
Karakter sifat saya adalah ekstrovert,
cenderung banyak berbicara, komplain, koment, banyak basa basi, banyak
bertanya, memulai pembicaraan. Sedangkan dia introvert, dimana sifatnya calm,
diam, tidak banyak bicara dan cuek.
Sifat kita memang berbeda, tapi layaknya pecahan keramik yang permukaannya
berbeda tetapi pecahan itu jika disatukan menjadi kesatuan mozaik, cocok. Di
samping itu kita punya hobi yang sama, membaca buku, menyukai sastra dan
jalan-jalan. Selera makan kitapun tidak jauh berbeda, kita tidak terlalu suka
makanan yang aneh-aneh yang tidak sesuai dengan lidah ke-Indonesiaan kita. Kita
sangat lekat dengan makanan tradisional.
Dengan berbagai segala macamnya,
kita mampu bertahan terhadap ego, kondisi, keadaan dan berbagai intervensi yang
datang baik dari teman, keluarga dan lain-lain. Ternyata cinta harus
diperjuangkan. Sesaat sebelum akad nikah dan setelah akad nikah pada tanggal 9
juli 2017 tangisan bahagia kita pecah. Begitu panjang dan sulitnya perjalanan
kita, akhirnya kita bersanding tidak dengan orang lain, tetapi dengan orang
yang sama pada saat kita berjalan kaki dari kampus. Setelahnya pun saya selalu
teringat perjuangan-perjuangan dia yang membuat saya terus terharu, tetapi
kadang kitapun suka tertawa bersama menertawakan hal remeh temeh yang kita
lalui bersama. Saya kadang tidak percaya, saya sekarang sudah dinikahi dia.
Semua serasa masih seperti dulu. Kamu yang tetap muda dan segar yang
bersemangat mengantarku pulang kampus menuju kosn. Kita yang bahagia ketika
bertemu sesudah ber bulan-bulan tidak bertemu, dan sekarang kita menjalani
semuanya bersama. Tumbuh tua bersama. Dan selalu ketika saya flashback mengenai
hal ini saya selalu ingin menangis, antara bahagia dan haru semua bercampur,
kamu yang selalu saya sebut dalam do’a. Ke hatimu aku kini pulang.
Komentar