teologi pencinta ransel



Teologi Pencinta Ransel

". . jika mimpi tanpa akhir adalah penuntunmu maka mengejarnya adalah bentuk kepercayaan . . . ”


Alam dari Tuhan dengan mudah menantang diri kita untuk dijelajahi, dengan kaki-kaki dan ransel punggung kita yang tak pernah lelah untuk kita bawa ke tempat-tempat berbeda dari sebelumnya. 


Kita sudah seringkali bersinggah pada kota-kota tanpa mengetahui tujuan garis takdir ingin apa sebetulnya diri kita. Sebuah ketidakmungkinan berhasil kita wujudkan, menapaki jengkal-jengkal belahan dunia yang terkadang tak masuk dalam logika dan matematika manusia-manuisa. Semuanya dengan mimpi.  

Detik ini aku pun sama sepertimu, masih hanya bermimpi menginjakkan kaki di kota-kota eksotis, di negri-negri berperadaban tua, di puncak gunung-gunung yang terjal, di tengah hutan-hutan yang mencekam, di pantai bersama riak air yang menggoda, di pelabuhan dan stasiun-stasiun kota, di terminal-terminal dengan bau kecut para penumpangnya, di perkampungan dengan budayanya, segalanya tentang perjalanan yang menyuguhkan berbagai macam kenyataan dan sensasinya masing-masing.
Kaki kita tidak terlalu kuat untuk terus-terus dan terus menjamahi setiap jalanan dan punggung kita tak terlalu tangguh untuk menopang ransel kita. dunia terlalu besar untuk kita kelilingi.
Mari bersamaku, kita hentakkan kaki, sebagai bagian dari orang-orang pencinta ransel. Memandang dunia dari sudut persfektif yang berbeda.

Iya, kita pembawa ransel mungkin karena memang jiwa ini bosan berada di satu tempat untuk menikmati dunia dengan lebih leluasa. Tidak merasa nyaman untuk terus bergumul dengan rutinitas yang sama dengan orang-orang yang sama dan tempat-tempat yang sama.
Iya, kita pembawa ransel yang terlanjur mempelajari anugerah Tuhan dengan di papah oleh keajaiban alam dan misteri Tuhan pada setiap mil-mil jarak yang kita lewati.
Iya, kita pembawa ransel, yang mengemasi nasib-nasib kita, takdir-takdir kita menuju jalan titik temu Tuhan dengan batin kita di ambang batas dunia.

Mari, satu tiket kereta untukmu, pencinta ransel. Karena kita telah memilih hidup untuk tak diam dipersimpang jalan. Menderu-deru angin mengantarkan kita melaju dengan waktu, menusuk-nusuk sinar matahari dan rembulan berlomba mengintip jarak yang kita tempuh, dan orang-orang di sekeliling yang sekedar mengajak bicara dengan seribu bahasa yang mereka bisa, memberi seribu cerita, menyodorkan seribu tempat dengan seribu rute, berikut seribu keajaiban Tuhan dalam perjalanannya, dan kita menanggapi dengan seribu bahasa, dan seribu rasa keyakinan “kita akan sampai di sana suatu hari nanti”.

Ku kira kau juga tahu, kita berjalan sambil bertanya-tanya karena hidup sangat mudah tersesat untuk di tapaki. Bertanya jalan menuju tempat tak terjamah manusia, bertanya arah menuju eksotisme titik temu lautan dan muara, bertanya jalan kerikil terjal menuju puncak batas cakrawala, bertanya arah menuju kompleksitas kota peradaban manusia, bertanya jalan menuju palung-palung kesadaran dimana letak Tuhan berada dalam diri kita. Karena kita hanya tahu diri kita bodoh di atas segalanya tentang itu. Arah jalan. Arah jalan.

Silahkan rebahkan tubuhmu di tempat yang kau tuju, tengadahkan kepalamu melihat luasnya biru langit. Saat itu aku tahu hati kita berbicara pada Tuhan tentang lelah, tentang harap, tentang sesal, tentang syukur, tentang cinta, tentang kenyataan, tentang sahabat, tentang keajaiban, tentang perjalanan, tentang semuanya.
“ kau tak pernah menyesal dilahirkan di tanah pijakMu, Indonesia ” saat itu sahabatmu hanya tersenyum mengajakmu memandang dunia secara bersamaan.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jodoh

travelling vs backpacking

Review Titik Nol : Sebuah Narasi dan Kritik untuk Dunia Turisme