Jurnal Penelitian - 2

Saya selayaknya memberi judul untuk tulisan ini adalah Setitik Gambaran Pertanian Indonesia.
Tapi karena saya sedang melakukan penelitian pada perusahaan maka saya juduli saja dengan jurnal peneltian yang ke 2.

Ada hal yang sangat ironi untuk tempat peneltian yang saya kunjungi sekarang, tempatnya yang jauh dari kota, tepatnya di Kecamatan Cigedug Kabupaten Garut. Ada 2 perusahaan yang berada disana, perusahaan sayuran. Setelah saya mewawancara 1 perusahaan, ternyata perusahaan ini harus mengeluarkan biaya produksi sekitar 300 juta per bulan, artinya omset nya sudah pasti lebih dari 1 miliar per tahun, bahkan lebih dari 2,5 milyar pertahun, perusahaan ini menggarap 30 hektar tanah dan memperkerjakan 200 orang buruh tani,  jika digolongkan dalam tingkatan level usaha maka perusahaan tersebut adalah perusahaan yang berskala besar dari segi tenaga kerja, berskala menengah dari segi omset, dan entah berskala apa dari segi pendapatan karena belum saya hitung tuntas. Usut punya usut ternyata pemiliknya adalah orang Pangalengan dan tanah yang digunakan adalah tanah sewa dari desa.  

Dari gambaran tersebut, kita bisa melihat, dari banyaknya tenaga kerja yang dipekerjakan berarti perusahaan belum mencapai titik efisiensi yang tinggi. Tapi dari sisi penyerapan tenaga kerja sangat mendorong perkembangan perekonomian desa, karena peruasahaan dalam 2 minggu menggulirkan uangnya senilai 120 juta rupiah terhadap pekerjanya. 

Kampung yang saya datangi dimana adanya perusahaan tersebut jaraknya sangat jauh dari jalan lintas kabupaten, sekitar 7-8 km, hal tersebut terasa jauh karena keadaan jalan yang sangat terjal dan selalu menanjak. Jalan nya kecil tidak dilewati kendaraan umum, penduduk setempat menggunakan ojek sebagai transportasi mereka. 

yang menjadi ironis di sana, ada 2 perusahaan yang beroperasi di desa terpencil di sana dengan omset yang cukup besar dan keperluan aktivitas ekonomi yang harusnya ditunjang sangat baik untuk memajukan usahanya, tapi infrastruktur mereka sangat tidak mendukung. Pihak perusahaan mengakui bahwa mereka sangat kewalahan untuk mengangkut pupuk dan segala hal lainnya yang dibutuhkan untuk produksi, disebabkan karena jalan yang jelek. Butuh dana tambahan untuk satu karung pupuk yang mereka bawa dari daerah kota ke tempat kebun seharga 5.000 artinya bagi mereka harga pupuk masih mahal 5.000 diatas harga pasar, dan perusahaan membutuhkan 4.000 karung pupuk untuk per 8 hektar. Artinya perusahaan sudah rugi 20.000.000 untuk sekali tanam dalam setiap 8 hektarnya karena kehilangan potensi dari jalan yang rusak dan tidak bisa ditempuh truk. 
Itu hanya 1 dari gambaran saja, belum lagi perusahaan menghadapi harga yang fluktuatif di pasaran, cuaca, iklim, yang semuanya itu tidak pasti bagi mereka. Setiap pergantian cuaca setiap musim ternyata yang terjadi dilapangan hama yang mengganggu hampir selalu tidak sama setiap musimnya, ada saja hama yang baru yang dipengaruhi oleh sistem cuaca daerahnya. Belum lagi tenaga kerja yang minim pendidikan yang tidak bisa diberi pengarahan. 

That way i think this story about the fact of agriculture in Indonesia. Secara umum, kebun kebun rakyat ya begitu lah, kalau secara kasar, sudah tak berstrategi mereka di sengajakan miskin oleh keadaan. Sudah tidak ada pengetahuan untuk menjalankan usaha, tidak di tatakelola dengan sistematis, mereka dibunuh pula oleh fasilitas yang tidak layak untuk berwirausaha. Pengusaha itu punya keuntungan, pasti punya keuntungan, tetapi keuntungannya tidak semaksimal dengan potensinya. loss of gain dari mereka besar sekali, hanya di hitung dari segi infrastruktur saja, jika dengan yang pastinya loss gain nya lebih besar lagi. 

Entah mengapa petani-petani kebanyakan berpendidikan sangat minim. Sebenarnya minimnya pendidikan petani itu tidak mempengaruhi kinerja perusahaan mereka jika keadaan fasilitas wirausaha mereka mendukung, tetapi kenyataannya masih ada saja perusahaan sebesar itu masih bisa berdiri diantara keadaan yang tidak efektif seperti itu. 

produk pertanian sangat butuh infrastruktur yang baik karena perlakuannya yang harus beda disebabkan sifat fisik dan kimianya yang gampang berubah dalam hitungan jam (gampang busuk), jadi produk pertanian setelah panen mau tidak mau harus di ditribusikan cepat untuk para konsumen. 
Disini lah terlihat betapa Indonesia masih sangat rendah tentang kesadaran pentingnya fasilitas dan infrastruktur. Produk pertanian kita harganya masih mahal dipasaran dibandingkan produk impor karena memang harga produksinya pun mahal. we are not only loss gain, but also competitiveness. 
produk pertanian kita baru sampai pasar kecamatanpun sudah hilang daya saing nya, tentunya kita tidak mau demikian. secara tidak langsung infrastruktur adalah hal mutlak untuk dunia pertanian, dan sistem logistik harus tertata rapi untuk mendukung itu semua.
i will not talk about theory, but the fact in field that i have seen like that.

sampai jumpa di tempat penelitian selanjutnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

tentang dea..

Pada Suatu Hari

tentang nonon . .