Saya dilamar oleh seorang lelaki pada Februari kemarin, memang betul tak ada kata-kata yang terlontar dari saya ketika saya ditanya apakah saya betul-betul ingin bersama dia, saya hanya tersenyum menanggapi pertanyaan itu, dan saya sekarang mengerti apa arti tersenyum simpul seorang perempuan ketika pada saat prosesi lamaran, yang menandakan dia menerima ingin hidup bersama. Dulu ketika saya masih belum merasakan apa itu pacaran, saya sangat menentang tentang persepsi dimana tanda seorang perempuan menyetujui mau untuk dilamar adalah dengan tersenyum ketika ditanya, karena tidak setiap perempuan menerima lamaran, dan tidak setiap senyuman berati setuju, butuh ketegasan berupa perkataan yang menandakan dia betul betul menerima lelaki yang melamarnya, bagi saya dulu senyuman ketika di lamar bukan sebuah tanda tapi sebuah penghormatan pada lelaki yang melamar. Tetapi sekarang baru saya rasakan arti senyuman simpul itu. Bahwa ternyata memang tak ada kata yang setara dengan per
Mengintip kata backpacking dan travelling yang selama ini saya ulak ulik dan mencari tahu intinya, karena saya sangat terobsesi dengan kegiatan yang bernama travelling dan backpacking. . Kemarin saya habis baca buku the journey, yang isinya tentang perjalanan 12 pengarang buku yang diterbitin di gagasmedia, seperti aditya mulya, raditya dika, ferdiriva hamzah, dll. Dalam buku ini ada 12 cerita, tentang pengalaman, ulasan dan beberapa pesan moral ketika kita sedang dalam keadaan travelling. Ada beberapa cerita yang cukup menarik dan beberapa kali saya fikir ceritanya seperti membuka fikiran saya tentang persepsi saya mengenai travelling dan backpacking. Saya sekarang mempunyai persepsi antara backpacking dan travelling adalah hal yang beda satu sama lain, dan satu hal lagi saya sadar akan travelling dan backpacking bahwa kedua hal tersebut lebih baik dijadikan hobby / pasion namun bukan dijadikan sebuah profesi. Saya sadar bahwa travelling dan backpacikng beda dar
Agustinus dalam kisah Titik Nol ini merupakan sentral sudut pandangnya terhadap tempat-tempat yang dia singgahi dan lewati. Seperti para traveler lainnya, Agustinus menceritakan rasa dan perasaannya terhadap apa yang dia lihat, dengar dan rasakan ketika dia melakukan travelling. Ada yang berbeda dari apa yang dinarasikan Agustinus dalam kisahnya di Titik Nol ini. Perbedaan sudut pandang itu lahir dari latar belakang dia sebagai etnis Tionghoa yang mempunyai kehidupan masa lalu di sebuah desa di Lumajang Jawa Timur, tidak hanya itu narasinya dikuatkan dengan ulasan-ulasan yang menarik nalar mengenai sebuah perubahan tempat yang ia kunjungi, kekuatan ulasan itu tentunya dari latar belakang intelektualitas seorang Agustinus itu sendiri yang mampu manangkap fenomena turisme. Saya sendiri baru membaca novel ini sampai halaman 210. Awal membaca, saya merasa alurnya loncat-loncat dari mulai Agustinus pergi ke Tibet, kemudian menceritakan lagi masalalunya ketika dia mulai berangkat se
Komentar