Review Titik Nol : Sebuah Narasi dan Kritik untuk Dunia Turisme



Agustinus dalam kisah Titik Nol ini merupakan sentral sudut pandangnya terhadap tempat-tempat yang dia singgahi dan lewati. Seperti para traveler lainnya, Agustinus menceritakan rasa dan perasaannya terhadap apa yang dia lihat, dengar dan rasakan ketika dia melakukan travelling. Ada yang berbeda dari apa yang dinarasikan Agustinus dalam kisahnya di Titik Nol ini. Perbedaan sudut pandang itu lahir dari latar belakang dia sebagai etnis Tionghoa yang mempunyai kehidupan masa lalu di sebuah desa di Lumajang Jawa Timur, tidak hanya itu narasinya dikuatkan dengan ulasan-ulasan yang menarik nalar mengenai sebuah perubahan tempat yang ia kunjungi, kekuatan ulasan itu tentunya dari latar belakang intelektualitas seorang Agustinus itu sendiri yang mampu manangkap fenomena turisme.

Saya sendiri baru membaca novel ini sampai halaman 210. Awal membaca, saya merasa alurnya loncat-loncat dari mulai Agustinus pergi ke Tibet, kemudian menceritakan lagi masalalunya ketika dia mulai berangkat sekolah ke Cina, tetapi seiring dengan tiap halaman yang saya buka terus alurnya menjadi tersusun rapi. Mungkin buku ini disusun dari catatan-catanan Agustinus ketika melakukan perjalananya, setelah beberapa waktu perjalanannya selesai baru dibuat buku, sehingga untuk membuka memori yang telah berlalu agak kurang sistemastis atau ceritanya terkesan loncat-loncat di awal. 

Saya sangat kagum dengan gaya narasi Agustinus dalam menceritakan perjalanannya, memang sesuai dengan judulnya yaitu makna sebuah perjalanan. Di dalam buku Titik Nol ini saya menemukan ulasan, kritik dan makna dari perjalanan itu sendiri, ini yang membuat buku ini berbeda dengan buku travel lainnya, kebanyakan buku bertema traveling banyak berisi mengenai ittenary, tips dan trik ber traveling, lokasi yang wajib di kunjungi dan how to survive when you travelling in one country. Dalam buku ini saya tidak menemukan hal itu, bahkan saya tidak menemukan rute perjalanan, bagaimana Agustinus mencapai Negara-negara yang ia kunjungi. Dia menceritakan mengenai cara perjalanannya yang menggunakan jalur darat dengan menggunakan kereta, bis, truk, dan transportasi lainnya, tetapi dia tidak secara detail mejelaskan dimana letak stasiun,jadwal kereta, dan tips tips bepergian lainnya di negara yang ia kunjungi. 
Dia banyak bercerita mengenai makna perjalanan nya itu sendiri. Dia pandai bernarasi mengenai kemegahan tempat, keberagaman budaya, dan fenomena yang terjadi ketika dia bertemu dengan hal-hal baru dalam perjalanannya. Tidak aneh dalam bukunya ini dia tidak banyak menggambarkan secara detail kota yang dia singgahi. Tetapi sangat detail terhadap fenomena yang ia lihat dan rasakan. Dia banyak mengalami masalah dalam proses perjalannnya tetapi dia tidak banyak bercerita mengenai bagaimana dia survive untuk terus melanjutkan perjalanannya

Dia banyak mengulas mengenai adanya arus perubahan di Negara Tibet dan Nepal ketika adanya turis yang datang ke Negara tersebut. Fenomena tersebut ia rasakan ketika awal tahun 2000 an, ketika dia mengunjungi Tibet negara yang baru saja disapa modenisme karena pesatnya kunjungan wisata, tetapi negara Tibet waktu itu masih sangat rentan dengan kondisi keamanan karena masalah kedaulatan antara masih  bergabung dengan Cina atau merdeka sendiri. Negara Tibet digambarkan sangat eksotis karena merupakan negara dengan religiusitas Budha yang sangat kental, religiusitas tersebut berdampingan dengan eksotisme surga dunia pegunungan Himalaya. Hal yang menarik adalah di Tibet semuanya serba bayar, sampai memotretpun bayar, perubahan ini lah yang tak habis di fikir, karena kencangnya arus turisme sehingga penduduk Tibet yang menjadi penduduk lokal yang berada di titik Kemegahan Himalaya mengeruk semua keuntungan terhadap turis, hingga praktik ibadah menjadi tontonan untuk menarik perhatian turis yang berujung pada tarif-tarif dari setiap eksplorasi yang dilakukan para turis.

Pegunungan Himalaya, sumber : google.

Begitu megahnya Pegunungan Himalaya tersebut yang membentang dari Pakistan, Tibet, Nepal hingga India. Arus perubahan karena turisme ini pun terjadi di Nepal ketika Agustinus mengunjungi Nepal tidak luput dari kritiknya mengenai arus modernisasi yang datang. Nepal pun hampir sama dengan Tibet yang membedakan adalah tidak terlalu ketatnya pengamanan di Nepal sehingga turis dengan sangat aman untuk melakukan apa yang mereka inginkan, apalagi didukung dengan keadaan Nepal yang serba murah untuk mendapatkan semua fasilitas. Di Nepal banyak sekali perubahan dari mulai turis yang selalu memberi hadiah - hadiah kecil kepada anak-anak penduduk lokal yang dari sudut padang Agustinus hal itu tidak baik karena menumbuhkan jiwa pengemis, sampah yang mulai banyak dijalur menuju pendakian karena banyak nya turis yang tidak bertangung jawab, dan adanya pembangunan jalan yang lebih bagus dan beraspal untuk mengunjungi pegunungan Himalaya di Nepal. Hal tersebut memunculkan kritik tersendiri untuk Agustinus, dengan adanya jalan yang di bangun untuk memudahkan akses untuk mencapai puncak pegunungan Himalaya ini, ke ekslusifan pegunungan ini seolah-olah akan pudar karena memberikan banyak ruang dan kemudahan untuk menggapainya, apalah arti surga dunia kalau tidak ekslusif lagi. Dengan alasan perkembangan ekonomi, semua sarana dan prasarana untuk menuju pegunungan Himalaya tersebut terus di bangun, hotel, restoran dan ruas jalan, sedangkan kawasan pegunungan merupakan pegunungan dan hutan yang Agustinus sendiri tidak percaya mengapa hal itu bisa terjadi. Arus turisme dan perkembangan perekonomian ini menjadi hal yang disatu sisi lain mengeruk surga dunia itu sendiri. 

Hal ini menurut saya merupakan kritik untuk dunia pariwisata, begitu derasnya arus turisme itu. Agustinus merasakan hal itu tahun 2000 an di Tibet dan Nepal dan buku ini memperlihatkan fakta yang demikian karena buku ini merupakan cerita non fiksi yang dialami dari perjalanannya sendiri. 
Indonesia pun kini mulai merasakan sedikit demi sedikit arus turime tersebut, walaupun dalam buku tersebut disebutkan bahwa untuk mengunjungi Indonesia tidaklah mudah bagi turis asing karena banyaknya keterbatasan, mulai dari keterbatasan informasi, infrastruktur, transportasi dan lain-lain, keterbatasan itu masih menjaga alam Indonesia untuk tetap ekslusif dan terjaga. 

Saat ini saya merasa Indoneisa menampung perubahan arus turisme domestik dengan melihat banyaknya komersialisasi tempat pariwisata, banyaknya sampah di gunung-gunung yang menjadi objek pendaki yang tidak bertanggung jawab, banyaknya corat coret di beberapa tempat ketika di objek wisata, lonjakan -lonjakan pengunjung yang seperti inilah yang menjadi bumerang dari kemajuan pariwisata, secara ekonomi mungkin menjadi merata dan bergairah untuk penduduk lokal tetapi secara attitude, keraifan lokal, budaya dan kelestraian alam menjadi terancam, yang akhirnya bermuara pada kelangsungan hidup setiap komponen yang berada di sekitarnya. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jodoh

travelling vs backpacking